Humanisme
Ancaman Global, Ilmu Pengetahuan 0 Comments »
-III-
Mengkaji Ulang Humanisme
“Humanisme"
dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme
mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan,
perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih
signifikan: humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri
kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme
mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya
mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan
humanisme sebagai "sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai
nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia,
bukannya pada otoritas supernatural mana pun".
Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan
oleh pendukungnya. Salah seorang juru bicara humanisme paling terkemuka di masa
kini adalah Corliss Lamont. Dalam bukunya, Philosophy of Humanism, ia menulis:
(Singkatnya)
humanisme meyakini bahwa alam… merupakan jumlah total dari realitas, bahwa
materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta,
dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan
supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa
supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan,
bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi. 34
Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik
dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat
dua manifesto penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu.
Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang
penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis
kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan
yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu.
Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto
kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita
menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya: dogma ateis bahwa alam
semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia
tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa
kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat.
Misalnya, enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah sebagai berikut:
Kedua:
Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul
sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan.
Ketiga: Dengan
memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional
tentang pikiran dan jasad harus ditolak.
Keempat:
Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana
digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari
suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan
warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian
besar dibentuk oleh budaya tersebut.
Kelima:
Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern
membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak
dapat diterima…
Keenam: Kita
yakin bahwa waktu telah berlalu bagi teisme, deisme, modernisme, dan beberapa
macam “pemikiran baru”. 35
Pada
pasal-pasal di atas, kita melihat ekspresi dari sebuah filsafat umum yang
mewujudkan dirinya di bawah nama materialisme, Darwinisme, ateisme, dan
agnotisisme. Pada pasal pertama, dogma materialis tentang keberadaan abadi alam
semesta dikemukakan. Pasal kedua menyatakan, sebagaimana dinyatakan teori
evolusi, bahwa manusia tidak diciptakan. Pasal ketiga menyangkal keberadaan
jiwa manusia dengan mengklaim bahwa manusia terbentuk dari materi. Pasal
keempat mengajukan sebuah “evolusi budaya” dan menyangkal keberadaan sifat
manusia yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan (sifat istimewa manusia yang
diberikan pada penciptaan). Pasal kelima menolak kekuasaan Tuhan atas alam
semesta dan manusia, dan yang keenam menyatakan bahwa telah tiba waktunya untuk
menolak "teisme", yakni kepercayaan pada Tuhan.
Akan
teramati bahwa klaim-klaim ini adalah gagasan stereotip, khas dari kalangan
yang memusuhi agama sejati. Alasannya adalah bahwa humanisme adalah pondasi
utama dari perasaan antiagama. Ini karena humanisme adalah ekspresi dari “manusia merasa bahwa
dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)”, yang merupakan dasar utama bagi
pengingkaran terhadap Tuhan, sepanjang sejarah. Dalam salah satu ayat Al Quran,
Allah berfirman:
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggungjawaban)?
Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim),
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah
menciptakannya, dan menyempurnakannya,
lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan
perempuan.
Bukankah (Allah) yang berbuat demikian berkuasa (pula)
menghidupkan orang mati?
(QS. Al Qiyaamah, 75: 36-40)
Allah
berfirman bahwa manusia tidak akan “dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban)”, dan segera mengingatkan bahwa mereka adalah ciptaan-Nya.
Sebab, begitu menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan Allah, seseorang akan
memahami bahwa dia bukannya “tanpa pertanggungjawaban”, tetapi bertanggung
jawab kepada Allah.
Karena
inilah, klaim bahwa manusia tidak diciptakan telah menjadi doktrin dasar
filsafat humanis. Dua pasal pertama dari Manifesto Humanis pertama
mengungkapkan doktrin ini. Lebih jauh lagi, kaum humanis
berpendapat bahwa sains mendukung klaim ini.
Namun, mereka keliru. Sejak Manifesto
Humanis pertama dipublikasikan, kedua premis yang dikemukakan kaum humanis
sebagai fakta ilmiah tentang gagasan bahwa alam semesta abadi dan teori
evolusi, telah runtuh:
1. Gagasan bahwa alam semesta adalah abadi digugurkan
oleh serangkaian penemuan astronomis yang dilakukan ketika Manifesto Humanis
pertama tengah ditulis. Penemuan seperti fakta bahwa alam
semesta tengah berkembang, dari radiasi latar kosmis dan kalkulasi rasio
hidrogen atas helium, telah menunjukkan bahwa alam semesta memiliki permulaan,
dan muncul dari ketiadaan sekitar 15-17 miliar tahun yang lalu dalam sebuah
ledakan yang dinamai "Dentuman Besar". Walaupun mereka
yang mendukung filsafat humanis dan materialis tidak rela menerima teori
Dentuman Besar, mereka akhirnya dikalahkan. Sebagai hasil dari bukti ilmiah
yang telah diketahui, komunitas ilmiah akhirnya menerima teori Dentuman Besar,
yakni bahwa alam semesta memiliki permulaan, dan karenanya kaum humanisme tidak
dapat membantah lagi. Demikianlah pemikir ateis Anthony Flew terpaksa mengakui:
… karenanya saya mulai mengakui bahwa ateis Stratonisian
telah dipermalukan oleh konsensus kosmologis kontemporer. Karena tampaknya para
ahli kosmologi memberikan bukti ilmiah tentang apa yang oleh menurut St. Thomas
tak dapat dibuktikan secara filosofis; yakni bahwa alam semesta memiliki
permulaan….36
2.
Teori
evolusi, pembenaran ilmiah terpenting di balik Manifesto Humanis pertama, mulai
kehilangan pijakan satu dekade setelah Manifesto itu ditulis. Saat ini diketahui bahwa skenario
yang dikemukakan sebagai asal usul kehidupan oleh kaum evolusionis ateis (dan
tak diragukan, humanis), seperti oleh A.I. Oparin dan J.B.S. Haldane pada tahun
1930, tidak memiliki keabsahan ilmiah; makhluk hidup tidak dapat diturunkan
secara spontan dari materi tak-hidup sebagaimana diajukan oleh skenario ini.
Catatan fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup tidak berkembang melalui sebuah
proses perubahan kecil yang kumulatif, tetapi muncul secara tiba-tiba dengan
berbagai karakteristik yang berbeda, dan fakta ini telah diterima oleh para
ahli paleontologi evolusionis sendiri sejak 1970-an. Biologi modern telah
menunjukkan bahwa makhluk hidup bukanlah hasil dari kebetulan dan hukum alam,
tetapi bahwa pada setiap sistem kompleks dari organisme yang menunjukkan sebuah
perancangan cerdas terdapat bukti bagi penciptaan. (Untuk lebih detail baca
Harun Yahya, Darwinisme Terbantahkan: Bagaimana Teori Evolusi
Runtuh di Hadapan Ilmu Pengetahuan Modern)
Lebih-lebih
lagi, klaim keliru bahwa keyakinan religius merupakan faktor yang menghambat
manusia dari perkembangan dan membawanya kepada konflik telah digugurkan oleh
pengalaman sejarah. Kaum humanis telah mengklaim bahwa penyingkiran kepercayaan
religius akan membuat manusia bahagia dan tenteram, namun, yang terbukti justru
sebaliknya. Enam tahun setelah Manifesto Humanis dipublikasikan, Perang Dunia
II meletus, sebuah catatan malapetaka yang dibawa ke dunia oleh ideologi fasis
yang sekuler. Ideologi humanis lainnya, komunisme, mendatangkan kekejaman yang
tak terperi, pertama terhadap bangsa Uni Soviet, kemudian Cina, Kamboja,
Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan berbagai negara Afrika dan Amerika Latin.
Sebanyak 120 juta manusia terbunuh oleh rezim atau organisasi komunis. Juga
telah jelas bahwa merek humanisme Barat (sistem kapitalis) tidak berhasil
membawa kedamaian dan kebahagiaan kepada masyarakat mereka sendiri ataupun kepada
wilayah-wilayah lain di dunia.
Keruntuhan argumen humanisme tentang agama juga telah tampak
pada lapangan psikologi. Mitos Freudian, sebuah batu pijakan dari dogma ateis
semenjak awal abad kedua puluh, telah digugurkan oleh data empiris. Patrick
Glynn, dari Universitas George Washington, menerangkan fakta ini di dalam
bukunya yang berjudul God: The Evidence, The Reconciliation of Faith and Reason
in a Postsecular World:
Seperempat
abad terakhir dari abad kedua puluh tidaklah ramah terhadap pandangan psikoanalitik.
Yang paling signifikan adalah ditemukannya bahwa pandangan Freud tentang agama
(belum lagi sekumpulan besar masalah lain) adalah benar-benar keliru. Yang
cukup ironis, riset ilmiah dalam psikologi selama dua puluh lima tahun terakhir
telah menunjukkan bahwa, jauh dari sebagai penyakit saraf atau sumber dari
neuroses sebagaimana dinyatakan Freud dan murid-muridnya, keyakinan agama
adalah salah satu kolerasi yang paling konsisten dari kesehatan mental dan
kebahagiaan yang menyeluruh. Kajian demi kajian telah menunjukkan hubungan kuat
antara keyakinan dan praktik agama di satu sisi, dan tingkah laku yang sehat
sehubungan dengan masalah-masalah seperti bunuh diri, penyalahgunaan alkohol
dan obat terlarang, perceraian, depresi, bahkan mungkin mengejutkan, tingkat
kepuasan seksual di dalam perkawinan, di sisi lain. 37
Singkatnya,
apa yang dianggap sebagai pembenaran ilmiah di balik humanisme telah terbukti
tidak sahih dan janji-janjinya gagal. Namun demikian, kaum humanis tidak
meninggalkan filsafat mereka, tetapi malahan mencoba untuk menyebarkannya ke
seluruh penjuru dunia melalui metode propaganda massa . Khususnya pada periode
pascaperang terjadilah propaganda humanis yang intens di lapangan sains,
filsafat, musik, kesusasteraan, seni, dan film. Pesan menarik namun kosong yang
diciptakan oleh para ideolog humanis telah disampaikan kepada massa secara
bertubi-tubi. Lagu "Imagine" karya John Lennon, penyanyi solo dari
grup musik paling terkenal sepanjang masa, the Beatles, adalah contohnya:
Lagu ini terpilih sebagai "lagu abad ini" dalam
beberapa jajak pendapat yang diselenggarakan di tahun 1999. Ini merupakan indikasi paling tepat
tentang perasaan sentimental yang digunakan untuk menyampaikan humanisme kepada
massa , karena
kurangnya landasan ilmiah atau rasional humanisme. Humanisme tidak dapat
menghasilkan keberatan rasional terhadap agama ataupun kebenaran yang
diajarkannya, tetapi berusaha menggunakan metode sugestif semacam ini.
Ketika
janji-janji Manifesto Humanis I di tahun 1933 terbukti gagal, empat puluh tahun
kemudian para humanis mengajukan konsep kedua. Pada awal teks ini ada upaya
untuk menjelaskan mengapa janji-janji pertama tidak membuahkan hasil. Walaupun
ada fakta bahwa penjelasan ini sangat lemah, ini menunjukkan keterikatan abadi
humanisme terhadap filsafat ateis mereka.
Karakteristik paling jelas dari manifesto tersebut adalah
mempertahankan garis antiagama pada manifesto tahun 1933:
Sebagaimana di tahun 1933, kaum humanis tetap memercayai
bahwa teisme tradisional adalah keimanan yang tak terbukti dan sudah
ketinggalan zaman, khususnya keimanan akan Tuhan yang mendengarkan doa, yang
dianggap hidup dan memerhatikan manusia, mendengar dan memahami, serta sanggup
mengabulkan doa-doa mereka…. Kami percaya… bahwa agama-agama otoriter atau
dogmatik yang tradisional, yang menempatkan wahyu, Tuhan, ritus, atau kredo di
atas kebutuhan dan pengalaman manusia merugikan spesies manusia…. Sebagai orang
yang tidak bertuhan, kami mengawali dengan manusia bukannya Tuhan, alam
bukannya ketuhanan. 38
Ini adalah penjelasan yang sangat dangkal. Untuk memahami
agama, pertama seseorang membutuhkan kecerdasan dan pemahaman agar mampu
menangkap gagasan-gagasan yang dalam. Ia mesti didekati dengan tulus dan tanpa
prasangka. Alih-alih, humanisme tidak lebih dari upaya dari sekumpulan orang,
yang sejak awal adalah ateis dan antiagama yang bernafsu, untuk menggambarkan
prasangka ini masuk akal.
Namun, upaya kaum humanis untuk menggambarkan keimanan
kepada Tuhan dan agama-agama Monoteistik sebagai kredo yang tidak berdasar dan
ketinggalan zaman sebenarnya bukan hal baru; hanya memperbarui sebuah klaim
berusia ribuan tahun dari mereka yang mengingkari Tuhan. Di dalam Al Quran,
Allah menjelaskan argumen seumur dunia yang dikemukakan oleh orang-orang kafir:
Tuhan kamu
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat,
hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah
orang-orang yang sombong.
Tidak
diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan
dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong.
Dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Apakah yang telah diturunkan Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Dongeng-dongengan orang-orang dahulu. (QS. An-Nahl, 16:
22-24)
Ayat ini mengungkapkan bahwa penyebab sebenarnya dari
penolakan orang-orang kafir terhadap agama adalah kesombongan yang tersembunyi
di dalam hati mereka. Filsafat yang disebut humanisme adalah tampak lahiriah
belaka dari pengingkaran akan Tuhan di zaman ini. Dengan kata lain, humanisme
bukanlah cara berpikir yang baru, sebagaimana mereka yang mendukung klaimnya;
ia sudah seumur dunia ini, pandangan dunia yang kuno yang umum pada mereka yang
mengingkari Tuhan karena kesombongan.
Jika kita mencermati perkembangan humanisme di dalam
sejarah Eropa, kita akan menemukan banyak bukti nyata bagi pernyataan ini.
0 Responses to "Humanisme"
Posting Komentar